Belajar, Kok Pake Kotak?

Unknown | Sunday, May 19, 2013 | |
Bismillah

"It's not about thinking outside the box. It's realizing there is no box" - Jari Askins
(Makasih untuk quote-nya ya, Wiet)

'Iya, bener, belajar jangan pake kotak. Kalo mau belajar, yuk hancurin dulu kotak-kotaknya.'

Pemikiran di atas terpicu oleh komen adik sekaligus sahabatku Mella atas aktifnya aku nulis lagi #ehem#. Mella bilang 'Ahhh aku sukaaaa, ternyata si kakak deschoolingnya hampir 3 tahun ya, seneng baca tulisan2mu sekarang.. *Peluk cium usel2'. Yak, gak kerasa hampir 3 tahun aku deschooling (penjelasan tentang deschooling favoritku bisa dibaca di sini). Proses yang aku sendiri tidak menyadarinya. Proses yang kebanyakan isinya adalah ngedumel, menggerutu (thanks for the correction, My dear Mbhita) dan galau tiada henti.

Menggerutu dan galau berkepanjangan itu tak lepas dari kebingunganku sendiri tentang belajarnya anak-anak, jika mereka tidak sekolah. Dengan status sebagai ibu bekerja, tidak akan mungkin aku mendampingi anak-anak belajar sepanjang waktu. Bagaimana mungkin dengan kondisi begitu, anak-anakku akan belajar maksimal? Bagaimana bisa aku mengatur waktu, energi dan emosi mendampingi mereka belajar jika aku sendiri lelah? Bagaimana dengan mata-mata pelajaran yang aku sendiri tidak menguasainya? Memikirkan hal-hal begitu sungguh bikin panik dan stres.

Alhamdulillaah, aku punya teman-teman yang selalu mendengar keluhanku, berusaha mengurai benang kusutku. Walaupun begitu, beberapa saran dari mereka seperti deschooling, better late than early, unschooling, walau kumengerti konsepnya, sungguh belum bisa membuat tenang. Tetap saja galau dan bimbang. Uji coba segala hal dilakukan, hanya untuk menyakinkan kami sudah belajar sesuatu. Segala materi dikumpulkan, segala link dijelajahi, yang bukannya nambah tenang, malah bikin bingung setengah mati. Ya gimana gak bingung, tangan cuma dua, lhaa itu materi segambreng mau diapain?

Sampai kalimat Mella di atas menggelitikku. Beberapa tahun yang telah kami lewati dengan berat itu adalah proses deschooling kami. Proses kami memaknai kata dan hakikat belajar dengan benar. Proses melepaskan diri dari kekangan kotak-kotak. Ya, belajar tidak perlu pake kotak. Dan yaaayyy...kami berhasil menghancurkan kotak-kotak kami.

Kotak pertama itu bernama Tempat. Belajar itu tak terbatas di suatu tempat bernama ruang kelas. Jika Allah saja menyediakan alam semesta untuk dipelajari, kenapa kemudian ruang belajar kami terbatas hanya di suatu ruang? Alam semesta inilah ruang belajar kami.

Kotak kedua kami bernama Subjek atau Materi. Yang dinamakan belajar itu tak mutlak hanya belajar tentang matematika dan ilmu eksakta. Tak ada sesuatupun ciptaan Allah yang sia-sia, maka tak ada satu ilmu pun yang remeh temeh. Apapun itu pasti berguna, walaupun remeh bagi orang lain ^_^

Kotak ketiga adalah Cara Belajar. Allah menciptakan setiap manusia unik, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam teori-nya Multiple Intelligences-nya Howard Gardner, ada delapan macam kecerdasan (baca di sini, di sini atau di sini) yang berbeda-beda cara belajarnya. Jadi, kalaupun anakku belajarnya sambil lari, gak bisa diam, geraaaakkkk melulu, ya gak papa juga kan ya?

Kotak keempat adalah Sumber Ilmu. Tidak ada lagi beban dari mana atau dari siapa anak-anak belajar. Anak-anak bisa belajar dengan siapa saja, dari mana saja. Bukan meremehkan peran guru, sama sekali bukan. Aku hanya berusaha menanamkan pada anak-anak, bahwa ilmu itu bisa dari siapa saja, tak mesti dari yang berprofesi sebagai guru. Ibaratnya, kalo mau bertani, guru terbaiknya adalah petani, kalo mau pinter berdagang, ya belajar sama pedagang. Carilah sumber ilmu dari mana dan dari siapa saja. Hargai sang pemberi ilmu, hargai ilmunya.

Menghancurkan 4 kotak itu bener-bener kerja keras. Tapi pelan-pelan, setidaknya ketenangan tentang 'anakku belajar apa hari ini, kok main melulu?' mulai terasa. Buatku sekarang, yang penting apapun yang dipelajari anak-anak harus membawa mereka semakin tunduk pada Sang Pencipta. Bahwa mereka akan jadi apapun nantinya adalah untuk mencari Ridho Allah, yang penting Allah Ridho.

Kalo kemudian ke depannya, kami masih tersandung kotak-kotak itu, atau kotak-kotak lainnya yang menghadang ke depan, kami sadar, hanya ada satu kotak yang harus kami perhatikan dengan benar, kotak Ridho Allah. Itulah batasan kami sekarang.

Ya Allah...Kami berharap Ridho-Mu.
Ridhoilah kami...aamiin.

9 comments:

  1. echa loveeeeee thiiiiis #paling suka bagian kotak ridho Allah itu Ophie..#hug

    ReplyDelete
  2. Makasih Echa sayang *peluuuukkkk*

    ReplyDelete
  3. wow keren banget tulisannya mba ophie...setuju deh, yuk ancurin kotak2, hihihi....

    ReplyDelete
  4. bagus banget mbak posting nya
    salam kenal, aku lia mama dari abimanyu 4thn 3bln
    baru pemula HS nih..
    jadi masih baca sana sini..
    sambil membiarkan abimanyu bereksplorasi sesuka hati hehehe...

    aku akan sering baca blog mba ya..
    makasih..

    ReplyDelete
  5. Amiii,makasih sudah singgah.Yuk,yuk,kita hancurkan kotak-kotaknya ^_^

    ReplyDelete
  6. Salam kenal kembali Mba Meila. Sama-sama belajar Mba. Aku juga masih harus belajar buanyaaakkk hehehe

    ReplyDelete
  7. Assalamu'alaikum, Salam kenal mbak Novi.

    Baarakallahu ... Seneng banget mbaca tulisan mbak Novi. Beneran, pertama kali yang harus diluluh lantakkan adalah kotak dalam pikiran kita sendiri. Itulah yg kami rasakan sbg keluarga HSer nubi yg masih bingung masukin gajah ke kulkas hehe.

    Terus nulis ya mbak. Ditunggu sharing2 anti galaunya :D

    ReplyDelete
  8. Waalaikumussalam Warahmatullahi Mba Fitri.Barakallahu fiik ^_^
    Doain aja ide nulisnya gak mandeq ya Mba hehehe

    ReplyDelete
  9. Kereeen... saya ingin mengatakan ini, tapi belum kepikiran kata-katanya apa. Terimakasih Mbak sudah sharing insight-nya :)

    ReplyDelete