HS, Trus Belajarnya Pake Apa?

Unknown | Tuesday, May 28, 2013 | | 4 Comments so far
Bismillah.

Sebagai seorang Ibu, tentunya aku ingin anak-anakku mendapatkan segala yang terbaik yang pernah aku dapatkan, juga dalam hal pendidikan. Aku ingin anak-anak mendapatkan ilmu dari sumber terbaik yang bisa kujangkaukan untuk mereka. Rasanya tidak berlebihan juga kalo dibilang, aku siap berkorban apa saja untuk pendidikan dan kesejahteraan mereka. Adalah naluriah setiap Ibu ingin melindungi dan mencukupi kebutuhan anak-anaknya.

Ketika pilihan homeschooling datang di hadapan kami, yang timbul adalah rasa panik: 'Apa yang mau kuberikan pada Aqeela?' 'Aku gak bisa ngajarin Fisika, Kimia dll?' 'Aku gak punya ketrampilan mengajar.' 'Aku gak tau semua ilmu.' 'Aku dapat bahan ajarnya dari mana?' 'Aduh, aku bakalan menghancurkan anakku sendiri dengan ketidaktahuanku #lebay#.'. Beribu-ribu pertanyaan yang meragukan diri sendiri, meragukan kemampuanku mengajar anakku, belum lagi kemampuanku mendidik dan mengasuh anak juga masih diragukan >.<  Tapi berbekal keinginan kuat dari Aqeela, aku maju. Jalan satu-satunya: browsing.

Waktu pertama kali browsing, ketemunya sama catatan keluarga Pak Aar dan Bu Lala. Lalu gabung di milis Sekolah Rumah, bahkan sempat kirim email khusus ke Pak Aar menanyakan bagaimana ni mau nekad HS tapi aku bekerja. Walau sudah diyakinkan Pak Aar bahwa bisa-bisa saja, tetap tidak yakin. Masih saja bertanya-tanya: 'Bagaimana nanti kalo pertanyaan anakku, tak bisa kujawab?' 'Bagaimana nanti kalo aku gak bisa lagi menemani belajarnya, karena keterbatasan pengetahuanku sendiri?'. Hadeuuhh, kalo mikir ke masa itu, kok kayaknya ribed banget ya aku. Tapi ternyata memang itulah proses yang harus dilewati. Masa-masa kalut, meribedkan diri dengan hal yang tak penting itu ternyata PENTING!!! Karena dengan begitu, segala pertanyaan galau bin kacau keluar semua. Layaknya laut lagi bergelora, segala hal dimuntahkan. Dan ketika badai sudah berlalu, yakinlah, cuaca akan lebih nyaman dan pemandangan akan lebih jernih ^_^

Dari berbagai pertanyaan tak penting bin galau bin kacau itu, kemudian proses mengendapkan berlangsung. Satu satu pertanyaan diurai. Dan ternyata, pertanyaan besar tentang bagaimana nanti aku menemani anak-anak belajar dan dari mana aku bisa dapatkan bahan dan materi ajar sudah terjawab dengan baik. Salah satu sumbernya: INTERNET dan bahkan ada yang GRATIS pulak #mata langsung berbinar-binar ala emak-emak#. Maka badai tahap II pun berlangsung. Iya, BENER, bener-bener BADAI. Badai kedua itu bernama: KEBANJIRAN BAHAN AJAR. Gak percaya? Coba search deh, pake kata kunci yang biasa aku pake: 'free resources for children' 'free homeschooling resources' dll dsb dsk. Belom kena badai? Pake yang lebih spesifik: 'free math' 'free english for kids' dll dkk. Belom kena juga? Pantengin FB-ku deh hehehe #promosi terselubung#.

Badai tahap II inilah yang kemudian melahirkan seleksi tingkat tinggi: 'apa yang penting?', 'apa yang harus didahulukan?'. Ini semua dikembalikan lagi kepada tujuan pendidikan masing-masing keluarga. Buatku sendiri, pendidikan adalah salah satu cara untuk mengenal Allah dan memberikan kontribusi terbaik sebagai ciptaan Allah yang terbaik. Jadi sekarang, aku lebih menekankan pendidikan berbasis Islam buat kami sekeluarga. Kami belajar Islam lagi, belajar Al Qur'an lagi bersama-sama. Maka sumber-sumber belajar yang penting buat kami sekarang ya belajar tentang kewajiban sebagai seorang Muslim.

Dan tetap saja, badai itu tetap berlangsung. Mana yang mau didahulukan, bahan mana yang mau dipake lebih dulu, tetap jadi pergulatan harian untuk menentukan materi belajar kami. Apalagi aku termasuk yang hobi window shoping materi belajar, maka yang sering adalah, kelelep alias hampir tenggelam dalam berbagai informasi yang ditawarkan, asli sampai sesak nafas milihnya hehehe. Yang gratisan? Bejibuuunnnn!!!!

Jadi kalo gak yakin tentang apa yang mau dipelajari dan dari mana bahan belajarnya, rajin-rajinlah browsing. Akan ada banyak kok, yakin. Jangan takut, jangan gentar, Allah membuka jalan dan memudahkan jalan bagi orang yang menuntut ilmu (redaksi hadits dan perawinya lupa *tutupmuka*). Ada banyak bahan tersedia untuk belajar, dari yang gratis sampai yang berbayar tersedia, tinggal milih mau pake apa.

Kapan-kapan, aku akan cerita tentang bahan yang aku pake buat anak-anakku tahun ini. Tapi bukan yang gratisan yak, yang berbayar ^_^ Tapi tetap lebih murah kok.


Allah yang memampukan ^_^
Read More

Homeschooling dan Makanan (Sebuah Analogi)

Unknown | Friday, May 24, 2013 | Be the first to comment!
Bismillaah

Setelah kemarin, aku menulis tentang apa itu homeschooling dengan berapi-api (baca ini), kali ini aku mau cerita tentang homeschooling (lagi) dengan lebih santai. Dan biar tidak terkesan terlalu serius dan keliatan keren #ehem#, aku mau pake analogi. Dari Kamus Bahasa Indonesia Online, analagi bisa diartikan sebagai persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yg berlainan. Jadi, apa sih persamaan atau persesuaian antara homeschooling dan makanan?

Pendidikan itu bagian dari kebutuhan kita, layaknya kebutuhan kita akan makanan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Setiap pribadi berusaha memenuhi kebutuhannya masing-masing. Sebagaimana setiap pribadi tercipta berbeda satu sama lain, berbedalah juga cara setiap pribadi memenuhi kebutuhannya tersebut, dilatarbelakangi perbedaan selera, lingkungan tempat tinggal, kultur dan kebiasaan.

Bagi yang senang dan jago memasak, memasak adalah cara utama untuk memenuhi kebutuhan akan pangannya. Bagi yang tidak terlalu suka, tidak terlalu pinter atau tidak sempat memasak, ada berbagai alternatif yang bisa dipilih, apakah memperkerjakan seorang juru masak di rumah, membeli lauknya saja di warung atau restoran yang sesuai selera, atau sama sekali menyerahkan urusan makanan ini kepada ahlinya dengan cara berkatering. Apapun caranya: memasak, memiliki juru masak, membeli lauk ataupun berkatering ria, tujuannya tetap satu: MEMENUHI KEBUTUHAN akan makanan tersebut. TIDAK ADA YANG SALAH dengan caranya, semua cara sah-sah saja.

Bagi yang memasak, juga bebas untuk memilih supplai bahan makanannya dari mana: dari warung, dari pasar tradisional, dari supermarket terkenal atau dari mbok sayur yang lewat depan rumah. Bahkan jika supplainya diasup oleh kebun sendiri, juga tetap sah. Yang penting tujuannya tercapai: memenuhi kebutuhan. Yang memilih juru masak juga begitu. Mau pilih juru masaknya dari suku apa, mau berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, tinggi atau rendah perawakannya, yang penting masakannya pas selera, yang lagi-lagi tujuannya satu: memenuhi kebutuhan. Begitu juga dengan pilihan yang lainnya: beli lauk saja atau berkatering. Tidak ada yang salah dengan pilihan tersebut. Yang jadi salah, kemudian adalah: sudah jelas tidak dipasok sendiri kebutuhannya, trus ngaku-ngaku.

Untuk kasus homeschooling, itulah yang sering terjadi. Kalo dianalogikan, homeschooling itu seperti memasok kebutuhan pendidikan anak dengan cara 'memasak', mengolah sendiri di rumah. Mau pake juru masak, mau supplainya dari A, B, C, boleh-boleh saja. Mau sesekali pake beli 'lauk' di Toko A, B, C, tetap sah-sah saja. Yang jadi berabe adalah, ketika jelas-jelas kebutuhan itu dipasok keseluruhan ala 'katering', trus penyedia katering pendidikan ini ngaku-ngaku penyedia katering homeschooling. Ini jelas salah kaprah. Yang namanya homeschooling, semua tanggung jawab, semua biaya dianggarkan oleh keluarga. Kalo lagi sempat ya 'masak sendiri' alias materi dibuat sendiri, atau ada yang beli materi, atau minta tolong seseorang untuk 'memasakkan' sesuatu. Semua menunya, dicek ricek lagi oleh keluarga. Seluruh anggarannya disesuaikan lagi dengan bujet belanja keluarga setiap harinya, yang bisa bervariasi setiap hari. Tapi jika sudah memilih katering, jelas materi dan biayanya ditentukan oleh pihak penyedia, dan jelas disebut tidak memasak sendiri. Jika proses pemenuhan kebutuhan pendidikan anak sudah disupplai oleh pihak penyedia, itu bukan homeschooling lagi. Karena seluruh materi dan biayanya sudah bukan lagi ditentukan oleh pengguna jasa. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan cara pemenuhannya. Yang salah itu, mengaku-ngaku homeschooling tetapi tidak homeschooling, mengaku homeschooling, padahal jelas-jelas pake jasa penyedia pendidikan.

Tidak ada yang salah juga dengan adanya penyedia jasa pendidikan tersebut. Kita, masyarakat tetap butuh mereka. Tapi buat penyedia jasa seperti ini, coba deh, namanya jangan homeschooling. Kan jelas-jelas itu sudah menyesatkan, sudah salah menempatkan istilah.

Apapun caranya, kan yang penting kebutuhannya terpenuhi. Kalo memang dengan sekolah, apapun bentuknya, mau sekolah negeri, swasta ataupun privat maupun flexi school sekalipun, selama kebutuhan pendidikan terpenuhi. Tapi sekolah ya tetap sekolah, homeschooling tetap homeschooling, tidak mungkin bertukar. Sama tidak mungkinnya rendang tiba-tiba bertukar jadi tempe bacem. Tapi sekali lagi, tidak ada yang salah. Mau sekolah boleh, mau homeschooling boleh. Yang gak boleh itu, yang jelas-jelas sekolah, ngaku-ngaku homeschooling, yang jelas-jelas homeschooling trus ngaku-ngaku sekolah. Bingung kan? Aku aja bingung, plus laper niii, gara-gara bahas makanan.

Tentukan pilihan, mau homeschooling atau sekolah. Jangan campur-campur, karena ibarat air dengan minyak yang gak bisa tercampur, begitu jugalah hakikat homeschooling dan sekolah. Tidak ada yang salah dengan kedua pilihan tersebut. Yang penting kebutuhan anak akan pendidikan terbaik terpenuhi, titik gak pake koma gak pake tapi.
Read More

Homeschooling itu...

Unknown | Wednesday, May 22, 2013 | | 1 Comment so far
Bismillaah

Sebenarnya hari ini mau nulis apa saja yang perlu dipersiapkan keluarga yang mau ber-homeschooling. Tapi kemudian, seorang sahabat mengabarkan bahwa ada HS B, milik seorang tokoh penting sedang launching di Pekanbaru, setelah sebelumnya ada HS A, yang juga milik seorang tokoh lainnya. Eng ing eng...kekesalan lama yang sudah terlupakan muncak lagi deh. Hari ini bahas ini aja deh...'Homeschooling itu apa?'.

Berhubung tidak sedang pegang buku apapun, karena sedang di kantor, aku merujuk ke Wikipedia saja ya. Menurut Wikipedia: Homeschooling or homeschool (also called home education or home based learning) is the education of children at home, typically by parents or by tutors, rather than in other formal settings of public or private school(selengkapnya bisa dibaca di sini). Jadi, yang namanya homeschooling itu adalah pendidikan anak di rumah, sekali lagi di rumah, DI RUMAH, yang biasanya diberikan oleh orang tua atau tutor dan bukan pendidikan yang diberikan secara formal baik oleh lembaga pemerintah (umum) maupun sektor swasta, sekali lagi BUKAN SEKTOR SWASTA (harap maklum, ini lagi esmosi ni hehehe). Jadi, homeschooling itu bener-bener tanggung jawabnya ada di pihak keluarga: ayah, ibu, anak, kakek, nenek, seluruh keluarga, mau melibatkan keluarga besar atau yang kecil boleh, yang penting seluruh keluarga terlibat di dalamnya. Kalo kemudian sudah ada lembaga, apapun bentuknya, yang mengatur segala aktifitas pendidikan anak kita, ya legowolah bilang bukan homeschooling, titik gak pake koma. Kan kalo sekolah juga gak masalah kan? Homeschooling bukan buat gengsian dan juga bukan jaminan kekerenan seseorang atau keluarga kok.

Jadi yuk bikin list aja, biar jelas sejelas-jelasnya dalam tempo sesingkat-singkatnya #eehhh. Disebut homeschooling jika:
Seluruh aktifitas pendidikan anak berada dalam tanggung jawab seluruh keluarga, terutama orang. Anak belajar di rumah yang difasilitasi oleh orang tua atau orang yang dipercayakan untuk memfasilitasi (guru les, tutor dll). Pengertian di rumah ini gak sempit hanya di rumah sendiri, boleh di rumah temen, rumah tetangga atau tempat-tempat lain. Yang jelas, ada tanggung jawab penuh kedua orang tua di mana pun anak belajar. Orang tua bebas memilih, mau ngajar sendiri anaknya, atau pake guru yang membantu. Kehadiran bantuan seperti tutor dan lain-lain itu hak mutlak, hak veto-nya orang tua. Mau pake boleh,gak pake juga tetap sah! #eehh Seluruh sarana di luar rumah sifatnya membantu dan bukan penentu homeschooling anda.

Bukan homeschooling jika: Seluruh aktifitas pendidikan anak anda diserahkan pada pihak-pihak yang menyebut komunitas atau lembaga homeschooling. Apalagi dengan ancaman: 'kalo gak bergabung akan susah berijazah, bahwa hanya di situlah bakat anak anda akan terasah dengan baik kalo memilih homeschooling'. Kalo ada lembaga yang mengaku lembaga homeschooling, ayo cermati lagi: tu lembaga ngerti gak hakikat homeschooling. Seluruh tanggung jawab proses belajar anak ada di suatu lembaga tertentu. Ini mah, pindah sekolah neng. Pindah sekolah ke tempat privat yang sangat-sangat privat sehingga belajarnya one to one, satu guru satu murid. Teng tong, salah besar, this is not homeschooling.

Jadi, ini bukan soal homeschooling itu keren dan keren sekali, trus anak dititipin ke homeschooling A, B dan C. Homeschooling itu pusatnya, sentralnya, pusat tata suryanya adalah keluarga. Please deh, pake istilah dengan benar. Trus, kalo anaknya di homeschooling A, B atau C, sentralnya di mana? Layakkah menyebut homeschooling? Eh, aku gak anti dengan lembaga-lembaga yang membantu pengurusan ijazah, paket A,B dan C ya. Sama sekali tidak. Karena itu beda bahasan. Bedanya jauuuhhhh antara kutub utara dan kutub selatan. Cuma ingin membantu meluruskan istilah, homeschooling itu pendidikan anak berbasis rumah yang diselenggarakan oleh suatu keluarga TITIK tanpa koma tanpa tapi.

Mari refleksi sendiri, apa motif dan tujuan ber-homeschooling masing-masing kita. Kalo ternyata, tujuan pendidikan anak-anak bisa dicapai dengan bersekolah, ya sekolah. Kalo ternyata tidak, cari alternatif. Homeschooling itu alternatif yang jadi pilihan jika memang sesuai dengan visi misi keluarga kita. Dan sekali lagi pusatnya keluarga, bukan lembaga, bukan kelompok tertentu. Kalo ibaratnya ni, anak kita gak cocok di suatu sekolah negeri yang muridnya banyak, trus dipindahin ke sekolah swasta yang rasio guru muridnya lebih sedikit, eh tetap gak cocok, pindahin deh ke lembaga privat. Nah! Yang ngaku-ngaku homeschooling itu, ya lembaga privat itu. Bukan homeschooling. Emangnya kalo di rumah, anak tidak bisa terasah bakatnya? Mau contoh? Googling deh! Banyak kok yang sukses walau belajarnya dari rumah.

Sekali lagi, aku tidak anti sekolah, tidak anti lembaga-lembaga pendidikan. Hanya ingin mendudukkan, pakailah istilah sesuai maknanya. Homeschooling ya homeschooling, basisnya di rumah, bukan di ruko, atau bangunan lainnya. Rumah di sini bukan fisiknya ya. Kalo susah ngerti pakai istilah rumah, pake enggres deh, homeschooling itu 'home' bukan 'house'. Beda home dan house? Googling! ^_^ Homeschooling itu gak bisa di-franchise-kan. Mosok rumah sendiri di-franchise-kan? *garuk-garuk tembok*

Jadi ketika ingin ber-homeschooling, trus gak pede dan minder, trus 'aha!, ini ada homeschooling A, B dan C', yakinlah, bahwa itu bukan homeschooling. Tanpa bosan-bosan diulang, homeoling itu basisnya di rumah kita sendiri, mau kontrakan, mau gedong tingkat seratus. Selama tanggung jawabnya full pada keluarga tersebut, itu ber-homeschooling. Selama aktifitas belajar anak-anak, masih anda yang mikirin sampai botak, ya itu homeschooling. Kalo kemudian anak ikut ngintilin ke dapur, berantakin seluruh alat memasak anda, menumpahkan segala macam tepung, air, beras dan lain-lain dan dengan santai kemudian anda mengajak anak anda bereksplorasi bersama, belajar di dapur tersebut, itu juga homeschooling. Belum jelas juga? Nanti deh kapan-kapan dibahas lagi.
Read More

Mau HS? Jangan Minder!!!

Unknown | Tuesday, May 21, 2013 | | 3 Comments so far
Bismillaah

Kalo membayangkan keluarga HS yang rumahnya rapi, ayah yang siap sedia membantu setiap saat, ibu yang ramah, bertutur kata halusss sepanjang waktu dengan rumah rapi jali tertata rapi; dengan anak-anak manis yang sopan, rajin belajar, well...kayaknya itu sih sedang membayangkan keluarga super hero, bukan keluarga HS ^_^

Kalo kemudian mau dan tertarik HS tapi gak pede dan merasa gakkan, gakkan pernah bisa ber-HS: 'saya kan gak teratur', 'saya kan moody', 'saya kan gak disiplin banget', 'saya gak sabaran dan pemarah' dan berjuta-juta 'saya-saya' lainnya yang membuat makin tak yakin dengan kemampuan ber-HS, aku mau ucapin 'welcome to the club'. Selamat datang di dunia HS yang penuh kegalauan #galau kok bangga ya?colek my queen Irma#.

Ketika membayangkan keluarga HS yang penuh kesempurnaan, mau yuk aku ajak mengintip keluarga HS yang sebenarnya. Yakin deh, ini berdasarkan kisah nyata, karena aku sudah pernah bertemu, ngobrol, bahkan memeluk para ibu-ibu yang digambarkan punya kesabaran tingkat dewa dengan tangan delapan yang siap mengelap setiap kotoran yang singgah di rumahnya, punya kepintaran yang menembus bulan bintang, punya tenaga layaknya Superwoman yang gakkan pernah capek ^_^ Tapi, sebelumnya aku ajak mengintip dulu ke keluargaku, yang dengan PEDE-nya memproklamirkan diri bahwa kami keluarga HS.

Bayangkan seorang Ibu yang bangun kesiangan dan bergegas mengepel, kalo sempat ya nyapu seadanya, trus sibuk membangunkan anak-anak agar bisa dimandikan sebelum si Ibu mengantor. Si ibu yang sibuk melipat selimut, membereskan tempat tidur sambil mulutnya terus mengomel tentang perlunya anak-anak mandi sebelum mamanya ngantor, agar nenek dan atoknya tidak perlu repot-repot lagi memandikan. Well, that's real, that was one of our mornings. Bayangkanlah mainan yang berserakan di setiap penjuru ruangan, bayangkanlah rak buku yang baru saja tertata rapi, setengah jam kemudian buku-buku sudah berserakan di lantai atau bahkan sudah disusun menjadi menara oleh anak keduanya yang sedang hobi menyusun-nyusun. Well, that's real too. Bayangkan ada setiap pojok yang lupa dipel, bayangkan seluruh jadwal yang sudah bersusah payah disusun untuk dikerjakan pada malam hari ketika si ibu sudah berada di rumah, buyar total demi mengoreksi (baca: mengomeli, memarahi) satu perbuatan yang mendidihkan darah ibu yang padahal, besok akan dilakukan lagi oleh sang anak; That's real too, that is our family ^_^

Masih belum percaya? Tanyalah pada seluruh keluarga HS yang anda kenal, inbox, email atau telpon kalo perlu. Tanyakanlah: sesempurna apa kehidupan HS mereka? Saya jamin jawabnya: kami tidak sesempurna itu. Ada masa-masa kami merasakan nikmatnya ber-HS dengan smooth. Tanpa hambatan sama sekali. Tapi ada kalanya kami terbentur, tersandung bahkan jatuh berdarah-darah. Memang gak terekspos, bukan demi menjaga image, tapi karena lingkaran sahabatlah yang kami perlukan saat itu. Lingkaran sahabat yang menguatkan kami, lingkaran sahabat yang mengangkat kami berdiri lagi, membantu kami mengobati luka, menyabarkan kami untuk merawat dan menunggu sampai luka itu sembuh agar bisa berjalan lagi. Ya, kami memilih lingkaran sahabat kami untuk membuang sampah-sampah kami, agar sampah itu tidak menghalangi langkah kami untuk maju.

Kalau pun kemudian yang terbayangkan teman-teman semua, betapa sempurnanya HS kami, betapa sempurnanya seluruh prosesnya dan kenapa tidak pernah ada cerita-cerita sedih, pedih ber-HS yang pernah terdengar, itulah alasannya. Cerita sedih kami, kami simpan untuk diri kami sendiri dan lingkaran sahabat kami untuk kemudian di suatu masa, cerita itu kami tertawakan bersama.

Jangan pernah minder, yakin sajalah untuk maju. Yakin saja untuk memulai dan berjalan layaknya bayi. Jatuh itu pantas, manusia itu tempatnya salah kok :)
Kalo kemudian terbayang bahwa keluarga A yang ber-HS itu sempurna, segera hapus bayangan itu. Keluarga HS bukan keluarga super hero, bukan sekelompok dewa dewi. Kalo pake kata Wiwiet: keluarga HS itu keluarga normal, biasa-biasa aja, penuh kegalauan tapi maju terus melangkah, dengan tantangan masing-masing yang unik tergantung sikon .

Jadi mau HS? Pede-lah, jangan minder. Get inspired, not intimidated. Tidak ada kesempurnaan kecuali Allah, dan Allah-lah yang akan memampukan kita ^_^

*Dedicated to all the friends in our lives, we owe you all.
Read More

Peep...We looove Peep!

Unknown | Monday, May 20, 2013 | | | | | Be the first to comment!
Bismillaah


Ada yang bertanya, anak-anakku mengakses game atau website apa saja untuk belajar. Kali ini aku mau bahas tentang si Peep, si anak ayam kecil kesukaan anak-anakku, bahkan si bayi besar kami, Farras! #aku juga suka lho ^_^ Sebenarnya tentang Peep ini pernah dibahas di web kami yang lama, yang sekarang tidak bisa diakses lagi hehehe.

Si anak ayam Peep ini sangat ceria. Dia berteman dengan si Chirp, si anak Robin yang cerdas dan si Quack, si bebek yang percaya bahwa Peep dan Chirp adalah dua bebek yang tidak bisa berenang. Mereka bertiga selalu berpetualang, menemukan hal-hal baru yang menarik perhatian mereka.

Khaira dan Farras sangat suka dengan video-video petualangan Peep, Chirp dan Quack. Video-videonya bisa diakses di sini. Setiap minggu, video-video yang diputar akan berbeda-beda, jadi anak tidak bosen dengan video yang itu-itu terus. Tapi karena quota internet kami terbatas, aku biasanya mendownloadkan video Peep dari youtube. Video kesukaan Kei adalah video Peep dan kawan-kawan bereksperimen dengan warna, A Peep of a Different Color. Mereka akan terkekeh geli ketika Quack tak sengaja bermandikan warna kuning, juga ketika berusaha mengembalikan warnanya kembali menjadi ungu #tapi,jangan bilang ke Quack bahwa warnanya ungu ya, menurut Quack, dia berwarna biru khusus ^_^#.

Untuk si kakak, Aqeela, hal yang paling disukai di dunia Peep adalah games-nya. Permainan-permainan di Peep sangat beragam: mensortir barang, menjatuhkan apel ke kolam melewati beberapa stik kayu, berbagi bunga sama rata, melatih ingatan dan banyak lagi. Semuanya bisa diakses di sini. Kesukaan Aqeela adalah membantu Quack menjatuhkan apel ke kolam di Quack's Apple.

Di website tersebut juga ada berbagai aktifitas yang bisa dilakukan sendiri di rumah. Dari bereksplorasi di kamar mandi, di halaman, di kamar, di dapur yang semuanya bisa dilakukan dengan menyenangkan bersama anak-anak. Semuanya lengkap di sini. Bisa dibilang website ini penuh dengan hal-hal menyenangkan yang bisa dijelajah bersama anak-anak. Recommended banget banget!!! ^_^

Jadi tidak berlebihan kalo aku bilang, We love Peep. We loooove Peep! We do!!! Do try this at home!!! ^_^
Read More

Belajar, Kok Pake Kotak?

Unknown | Sunday, May 19, 2013 | | 9 Comments so far
Bismillah

"It's not about thinking outside the box. It's realizing there is no box" - Jari Askins
(Makasih untuk quote-nya ya, Wiet)

'Iya, bener, belajar jangan pake kotak. Kalo mau belajar, yuk hancurin dulu kotak-kotaknya.'

Pemikiran di atas terpicu oleh komen adik sekaligus sahabatku Mella atas aktifnya aku nulis lagi #ehem#. Mella bilang 'Ahhh aku sukaaaa, ternyata si kakak deschoolingnya hampir 3 tahun ya, seneng baca tulisan2mu sekarang.. *Peluk cium usel2'. Yak, gak kerasa hampir 3 tahun aku deschooling (penjelasan tentang deschooling favoritku bisa dibaca di sini). Proses yang aku sendiri tidak menyadarinya. Proses yang kebanyakan isinya adalah ngedumel, menggerutu (thanks for the correction, My dear Mbhita) dan galau tiada henti.

Menggerutu dan galau berkepanjangan itu tak lepas dari kebingunganku sendiri tentang belajarnya anak-anak, jika mereka tidak sekolah. Dengan status sebagai ibu bekerja, tidak akan mungkin aku mendampingi anak-anak belajar sepanjang waktu. Bagaimana mungkin dengan kondisi begitu, anak-anakku akan belajar maksimal? Bagaimana bisa aku mengatur waktu, energi dan emosi mendampingi mereka belajar jika aku sendiri lelah? Bagaimana dengan mata-mata pelajaran yang aku sendiri tidak menguasainya? Memikirkan hal-hal begitu sungguh bikin panik dan stres.

Alhamdulillaah, aku punya teman-teman yang selalu mendengar keluhanku, berusaha mengurai benang kusutku. Walaupun begitu, beberapa saran dari mereka seperti deschooling, better late than early, unschooling, walau kumengerti konsepnya, sungguh belum bisa membuat tenang. Tetap saja galau dan bimbang. Uji coba segala hal dilakukan, hanya untuk menyakinkan kami sudah belajar sesuatu. Segala materi dikumpulkan, segala link dijelajahi, yang bukannya nambah tenang, malah bikin bingung setengah mati. Ya gimana gak bingung, tangan cuma dua, lhaa itu materi segambreng mau diapain?

Sampai kalimat Mella di atas menggelitikku. Beberapa tahun yang telah kami lewati dengan berat itu adalah proses deschooling kami. Proses kami memaknai kata dan hakikat belajar dengan benar. Proses melepaskan diri dari kekangan kotak-kotak. Ya, belajar tidak perlu pake kotak. Dan yaaayyy...kami berhasil menghancurkan kotak-kotak kami.

Kotak pertama itu bernama Tempat. Belajar itu tak terbatas di suatu tempat bernama ruang kelas. Jika Allah saja menyediakan alam semesta untuk dipelajari, kenapa kemudian ruang belajar kami terbatas hanya di suatu ruang? Alam semesta inilah ruang belajar kami.

Kotak kedua kami bernama Subjek atau Materi. Yang dinamakan belajar itu tak mutlak hanya belajar tentang matematika dan ilmu eksakta. Tak ada sesuatupun ciptaan Allah yang sia-sia, maka tak ada satu ilmu pun yang remeh temeh. Apapun itu pasti berguna, walaupun remeh bagi orang lain ^_^

Kotak ketiga adalah Cara Belajar. Allah menciptakan setiap manusia unik, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam teori-nya Multiple Intelligences-nya Howard Gardner, ada delapan macam kecerdasan (baca di sini, di sini atau di sini) yang berbeda-beda cara belajarnya. Jadi, kalaupun anakku belajarnya sambil lari, gak bisa diam, geraaaakkkk melulu, ya gak papa juga kan ya?

Kotak keempat adalah Sumber Ilmu. Tidak ada lagi beban dari mana atau dari siapa anak-anak belajar. Anak-anak bisa belajar dengan siapa saja, dari mana saja. Bukan meremehkan peran guru, sama sekali bukan. Aku hanya berusaha menanamkan pada anak-anak, bahwa ilmu itu bisa dari siapa saja, tak mesti dari yang berprofesi sebagai guru. Ibaratnya, kalo mau bertani, guru terbaiknya adalah petani, kalo mau pinter berdagang, ya belajar sama pedagang. Carilah sumber ilmu dari mana dan dari siapa saja. Hargai sang pemberi ilmu, hargai ilmunya.

Menghancurkan 4 kotak itu bener-bener kerja keras. Tapi pelan-pelan, setidaknya ketenangan tentang 'anakku belajar apa hari ini, kok main melulu?' mulai terasa. Buatku sekarang, yang penting apapun yang dipelajari anak-anak harus membawa mereka semakin tunduk pada Sang Pencipta. Bahwa mereka akan jadi apapun nantinya adalah untuk mencari Ridho Allah, yang penting Allah Ridho.

Kalo kemudian ke depannya, kami masih tersandung kotak-kotak itu, atau kotak-kotak lainnya yang menghadang ke depan, kami sadar, hanya ada satu kotak yang harus kami perhatikan dengan benar, kotak Ridho Allah. Itulah batasan kami sekarang.

Ya Allah...Kami berharap Ridho-Mu.
Ridhoilah kami...aamiin.
Read More

HS, Tapi Mamanya Kerja. Trus Anaknya Belajarnya Gimana?

Unknown | Saturday, May 18, 2013 | | | 8 Comments so far
Bismillaah

Sebenarnya setelah nulis ini kemaren, aku masih pengen nulis tentang kenekadan ber-HS. Tapi kayaknya topik yang sekarang dijadikan judul lebih penting, biar gak dikejar-kejar terus sama pertanyaan: 'trus anaknya belajarnya gimana?' 'jadwalnya gimana?' 'belajarnya apa aja?' 'berapa jam sehari anak-anak belajar?' dll dsb. Kalo ntar dijawab seperti biasanya jawabanku: 'gak ada jadwal khusus kok' atau 'anak-anakku di rumah gak ngapa-ngapain, cuma maen doang' atau 'yaaaa...belajar apa aja yang anak-anak mau', kok ya kesannya gimanaaa gitu hehehe.

Sebenarnya sekali lagi ini hanyalah masalah sudut pandang. Kita sudah dikotakkan dengan bahwa kita itu mesti belajar dengan 3D: Duduk, Diam, Dengarkan. Padahal belajar itu jauuuuhhh lebih luas daripada itu. Menurut Kakek Wikipedia, Belajar itu adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon (lengkapnya baca di sini aja ya). Proses bagaimana stimulus jadi output itu abstrak, tak bisa diamati, tak bisa diukur, tidak terukur. Karena tidak bisa diukur dan tidak terukur, gak bisa dibilang seseorang (baca: anak) itu gak belajar juga kan ya, kalo kerjanya lari-lariaaaan terus, lompat sana lompat sini atau hanya duduk diam tidak mau berinteraksi. Mungkin ketika itu dia sedang belajar ^_^

Jadi kalo trus ketika pertanyaan seperti dijudul muncul dan jawabanku tetap keukeuh, 'ya gak ngapa-ngapain kok anaknya', 'anaknya maen aja kok kerjaannya seharian di rumah', walau sepenuhnya tidak berarti tidak belajar, ya memang itulah yang terjadi di rumah kami. Anak-anak bebas memilih mau apa hari itu. Boleh main boneka seharian, boleh main puzzle seharian, boleh main balok, main air (walau dengan sederet wanti-wanti ala Mama), berantem (lagi-lagi dengan sederet wanti-wanti Mama) dan lain-lain. Anak-anak di rumah difasilitasi oleh Kakek Neneknya, kami berlangganan TV Cable yang minim iklan, ada internet 24 jam yang bisa dipake anak-anak browsing dan main game sepuasnya. Kalo mau belajar agak-agak serius...nanti ya nunggu Mama pulang kantor hehehe.

Kalau pun Mamanya sudah pulang ngantor, tidak serta merta juga aura belajar itu berubah. Kebanyakan yang dilakukan adalah menemani anak-anak main game di internet, merapikan mainan yang sudah berserakan ke segala penjuru ruangan, nonton acara TV kesukaan mereka, bercanda, baca buku atau sekedar ngobrol saja. Ada kalanya kami saling teriak, marah-marah untuk mengkomunikasikan isi hati kami >_<  Ada kalanya diskusi panjang hanya untuk mengoreksi satu perbuatan yang itu lagi, itu lagi. Untuk materi belajar anak-anak, aku berlangganan beberapa materi online yang bisa diakses kapan saja. Kapan-kapan aku cerita deh, kami berlangganan apa saja untuk bahan belajar di rumah.

Balik ke topik awal, masalah belajar ini bener-bener harus melepas dogma bahwa belajar itu HARUS A, B, C dsb. Dalam belajar itu tidak ada kata HARUS, yang ada hanyalah kata BOLEH. Belajar gak harus duduk diam, belajar gak harus pake buku atau buku khusus, belajar tidak harus dengan guru tertentu. Tapi belajar duduk? Boleh. Belajar pake buku? Tentu boleh. Belajar dengan guru khusus? Ya silahkan, wong boleh ini. Ketika lepas dari BELAJAR itu HARUS....dijamin deh, akan lebih damai menyikapi apapun tingkah dan polah belajar anak-anak. Dan jangan dilupakan, bahwa kita juga sedang belajar bersama mereka. #catatan penting: walau sudah nulis begini, seringnya aku juga masih belum bisa melepas 3D ituh huhuhu#

Jadi kalo HS, trus emaknya kerja, belajarnya gimana? Ya begitu itu...belajar kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja, tambah satu lagi ya, dengan cara apapun ^_^

Allah saja yang memampukan.
Read More

Kan Kerja? Kok Nekad HS?

Unknown | Friday, May 17, 2013 | | | 27 Comments so far
Bismillaah

Yak, bener 100 persen. Menurutku, orang tua yang bekerja, tapi memilih homeschooling buat anak-anaknya itu NEKAD. Kurang kerjaan dan gak mikir panjang. Abis kerja kan capek, belum lagi ngurusin anak yang lebih dari satu, belum lagi ngurusin perintilan rumah yang ga ada habis-habisnya, mana ga punya asisten rumah tangga lagi, belum lagi mikirin materi belajar anaknya, belum lagi mengontrol emosi sampai tingkat dewa. #eeehh, ini lagi nyeritain diri sendiri ya?hmmmm...# Jadi kesimpulanku, yang nekad hs sambil bekerja itu kalo gak super duper hebat pasti karena agak gila. Dan karena sadar bahwa diri bukan yang pertama, aku otomatis adalah yang kedua. #yaaaah, jadi ngaku deh.

Homeschooling dan bekerja itu asli capek. Meletihkan sekali. Pulang kerja harusnya istirahat atau mau beres-beres, harus rela dan siap diintilin sama berjejer pertanyaan yang harus direspon, karena sudah dipendam beberapa jam selama mamanya ngantor, mumpung mamanya sudah di rumah. Belum lagi capek-capek dari kantor, langsung disuguhi adegan berantem ala kakak adik yang tak jarang juga mendidihkan darah si mama. Sambil beres-beres rumah pun, tak jarang kepala diberatkan dengan pikiran 'anakku sudah belajar apa?' 'besok harus ngapain ya?' 'duh, ni anak dikasih materi apalagi?' 'ni anak-anak kenapa ga nurut sama mamanya sih?' dll dsb dsk dst...lanjutin sendiri deh #lhaaa...malah nyuruh-nyuruh#.

Bukan tidak pernah menyekolahkan Aqeela, si sulung yang sekarang umurnya 6 tahun lebih. Karena kawatir dengan 'gimana ni sosialisasi anakku?', Aqeela pernah didaftarkan ke PAUD dekat rumah, yang hasilnya adalah, anaknya gak mau masuk dan belajar, kecuali mamanya ikut masuk dan duduk di sampingnya. Pernah dicoba ditinggalin saja, biarin deh nangis, ntar juga berhenti sendiri, nanti lama-lama juga betah di sekolah. Lhaaa...kalo sampai berminggu-minggu tetap begitu, aku gak bisa ngantor dong? Lhaaa...kalo sampai berminggu-minggu tetap nangis, mogok sekolah tanpa mama, nelangsa amat ya nuntut ilmu itu. Keputusannya: gak usah sekolah deh, gak tega liat yang nangis-nangis hanya karena mau belajar.

Menjelang Aqeela 6 tahun, diputuskan untuk mendaftarkan Aqeela ke SD Islam terdekat. Kejadiaan yang bersama terulang, mogok gak mau belajar dan gak mau ditinggal. Kalo PAUD kemaren, masih bisalah ijin ke kantor sampai jam 11, trus masuk lagi. Lha ini SD-nya full-day sampai jam 4. Kapan ngantornya? Keputusannya: ya sudahlah, HS saja. Capek dan sayang uangnya. #pelitnya keluar deh hihihi#

Jadi buatku, HS menjadi pilihan wajib, karena anaknya mau. Jadi ya mau gak mau, ya harus mau HS. Tapi, jauh di lubuk sebenarnya, aku jatuh cinta setengah mati sama HS. Ide bahwa belajar itu harusnya menyenangkan dan belajar karena senang, sungguh membiusku #halah#. Walau capek, walau rumah gak pernah rapi, walau esmosi tingkat tinggi, tapi berharga sekali untuk dijalani.

Dengan HS, aku jadi belajar karakter masing-masing anakku dengan lebih detail. Belajar membaca kelebihan dan kekurangannya. Belajar mengasah kelebihannya dan meminimalisir kekurangannya. Aku belajar bahwa bonding-ku dengan anak-anak sangat penting untuk dijaga dan mengelola emosi menjadi bagian penting HS kami. Aku belajar bahwa team work akan mengurangi bebanku dan tugasku sekarang adalah mendelegasikan beban-bebanku itu pada team-mates-ku, yaitu anak-anak. Dan semua itu butuh proses. Butuh waktu, energi serta kesungguhan dalam prosesnya. Dan proses itu aku nikmati pasang surutnya.

Jadi, walau nanti si adik, Khaira (aka Kei) yang lebih easy-going sampai masanya sekolah, aku tetap memilih HS. Walau nanti Farras ternyata tidak masalah dengan sekolah, aku juga akan tetap menyebarkan virus HS buat anak-anakku #hihihi# bahwa 'belajar itu menyenangkan' dan 'belajarlah sesuatu yang kau senangi' karena belajar itu wajib, belajar itu sepanjang hayat.

Jadi nekad HS dan bekerja, ya nekad aja. Allah yang memampukan ^_^
Read More

AHA Moment

Unknown | Thursday, May 16, 2013 | | 4 Comments so far
Bismillaah

Memanfaatkan 'aha moment' dalam belajar bersama anak, menurutku sangat penting. Pada saat itu,anak berada dalam fase 'on' untuk menerima dan menyerap informasi yang ingin diketahuinya. Semua panca inderanya siap menerima dan mengolah informasi yang dibutuhkannya. Apakah kemudian informasi itu menjadi ingatan tetapnya atau tidak, kembali lagi pada proses penyaringan informasi tersebut oleh si anak. Yang penting memanfaatkan 'aha moment' dengan sebaik-baiknya, sebagai sarana menyediakan bahan bakar untuk proses pemikirannya.

AHA moment belajar Aqeela dan Kei biasanya ditandai dengan diajukannya berbagai pertanyaan. Dalam banyak kesempatan, terkadang moment ini terlewat begitu saja, dikarenakan kesibukan harus mengejar jam kantor, sedang mengurusi Farras yang masih bayi atau sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maklum gak punya asisten hehehe. Tapi dalam beberapa kesempatan, alhamdulillaah, masih bisa merespon dengan baik 'aha moment'nya Aqeela dan Kei.

Misalnya beberapa hari yang lalu, menjelang menit-menit berangkat ngantor, Aqeela bertanya: 'Mama, dolphin itu beda-beda ya?' Seperti ada 'tring' di kepalaku dan spontan menjawab: 'Yuk,kita ke google', ya mumpung komputer juga sudah nyala. Tinggal mengetik kata 'dolphin' dan memilih website yang pas. Hari itu Aqeela belajar dolphin di sini dan di sini. Setelah membuka kedua website tersebut, aku tinggal ngantor deh. Aqeela belajar sendiri yaa.

Hari ini pertanyaannya adalah 'Mama, Nabi dan Rasul itu banyak ya'. AHA, another aha moment, pikirku. Maka hari ini kami belajar Nabi dan Rasul via youtube di sini, di sini, di sini, di sini dan akhirnya bernyanyi 25 nama Nabi dan Rasul.

Entah apalagi pertanyaan yang akan dilontarkan anak-anak nantinya. Tak perlu juga aku harus tau semua jawaban atas pertanyaan mereka. Kesediaanku belajar dan bermain bersama merekalah yang terpenting. Memanfaatkan segala 'aha-aha moment' mereka. Terus menyediakan 'bahan bakar' untuk segala pertanyaan-pertanyaan bagi benak-benak kecil mereka.

Semoga Allah memampukan aku mendampingi anak-anak belajar sepanjang waktu dengan kesabaran...Aamiin.
Read More